[Cerpen] Darah Yang Sebenarnya
Rini Anjarwati Kusuma Putri
:
Globalisasi
menyerang samudera raya, membelah bumi, menggoncangkan dunia. Zaman boleh
berubah menjadikan segala kehidupan ikut berubah. Ini adalah sebuah era dimana
tidak ada kesetaraan. Era dimana penilaian dilihat berdasarkan siapa dan dari
mana asalmu.
Bias
pesona memudar
Saat
raja surya kembali berkuasa
Ada
pelangi jauh di sana ciptaan sang kuasa
Menemaniku
dalam sepi walau hanya sementara
Ketika
aku terdiam dalam renungan, dedaunan gugur menandakan gumpalan mega hitam telah
kembali. Aku pandang sekelilingku, sepi dan sunyi. Waktu bergulir. Begitu
berbeda ketika saat desikan kata ”merdeka” mendekati tanggal 17 Agustus kala
itu.
Jantungku
terus berdetak hingga kini melampaui
aktivitasku. Namaku Angelic Charol Geraldine. Sahabatku bernama sahabat pena
dan Vioni Kusuma. Kutuliskan dan kuungakapkan segala desiran kisah yang terus
bergulir sepanjang hidupku kepada kedua sahabatku.
“Woy!
Etdah ngapain bengong gitu sis? Hantu taman masukin baru tau dah hahahaha”
teriak Vioni
“apaan
sih lo bikin jantungku seperti mau membelah menjadi dua saja ih. Vioni kamu tau
ngak aku... aku... aku... aku mendapatkan juara 1 lomba menari tingkat provinsi
kita, good news is not it ?”
“it’s
great that you’re proud of me having you. Tapi berita itulah yang menjadikan
alasan aku tiba di rumah gede lo ini, jadi sebelum lo nyampein berita hebat itu
aku sudah terlebih dahulu mengetahuinya wkwkwkwk” ketawa Vioni terbahak-bahak.
“yes
never mind if you have more know. Aku bangga menjadi bagian dari Indonesia.
Indonesia yang kaya akan seni dan budaya” kataku
“akupun
bangga memiliki sahabat sepertimu. Yeahhhhh selamat ya cie cie cie jadi
delegasi DKI Jakarta ni yak? Aku pulang dulu ya, buru-buru nih mau lanjut
latihan teater lagi”
“
okay then da... da... dadada..... my dear”
Tanganku
melambai hingga pundak wanita ceria itu perlahan tak menampakkan tubuhnya yang mungil.
Baru sadar aku, rasanya senang sekali, akhirnya selama dua tahun kutekuni beberapa
tarian nusantara tidak sia-sia. Dan usahaku untuk membahagiakan mama dan papa
lagi, berhasil walau hanya sejabodetabek dulu. Perlombaan dalam rangka HUT RI
kali ini mengisahkan sejuta kebahagiaan bagiku. Dan besok aku sudah harus ke
gedung kesenian lagi untuk latihan dan latihan
menari mempersiapkan diri untuk berlomba lagi tingkat nasional. Perlahan
harapanku mulai tercapai. Apa yang dapat ku lakukan untuk bumi pertiwi, untuk
negeri Indonesia tercinta akan tergenapkan sepenuhnya bila aku menang menari
tingkat nasional dan bisa membawa tarian Indonesia mengudara.
Tiba
saatnya, nada-nada bersatu dengan irama dan menciptakan suara musik menemani
seorang penari dengan gemulai. Gedung Kesenian Universitas Indonesia menjadi
saksi perlombaan tarian nusantara yang menyenangkan sekaligus menyakiti lubuk
hatiku. Seusai badan idealku menari menari dan menari sesuai konsep yang telah
kubuat, perpaduan antara dua puluh tarian budaya dari lima pulau besar
Indonesia telah ku tampilkan dan menghasilkan hasil tak terduga sebelumnya. Dan
sayapun mendapatkan juara 2 tarian nusantara tingkat SLTA senusantara. Sesuai
ketentuan, juara 1 dan 2 pemenang lomba ini akan berkolaborasi mewakili
Indonesia pada ajang Intenasional di Amerika tempat kelahiranku, hal itu yang
aku pikirkan.
Seluruh
penonton bersorak gembira ketika nama-nama sang juara terucapkan dari mulut
seorang pembawa acara. Tak lama kemudian, salah satu dewan juri berkacamata itu
berkata “selamat kepada anak-anak Indonesia. Saya bangga memiliki kalian.
Selamat kepada kelima juara dari lima provinsi berbeda. Kalah menang itu biasa,
kalian semua generasi muda bangsa Indonesia yang hebat-hebat. Namun, pada
Pentas Seni kali ini ada yang berbeda karena kandidat juara 2 asal DKI Jakarta
berdasarkan keputusan dewan juri kami sangat memohon maaf karena peserta yang
bernama Angelic Charol Geraldine tidak diperkenankan dan tidak dapat mengikuti
Pentas Seni di Amerika karena Saudari Angelic memiliki dua kewarganegaraan
yaitu Amerika tempat perlombaan nanti dan Indonesia negara yang akan Angelic
wakili. Hal ini tidak akan terjadi maka, dewan juri memutuskan bahwa juara
pertama asal Sulawesi Tengah dan juara ketiga asal Maluku akan mewakili
Indonesia pada ajang Internasional”.
Lemas
sekujur tubuh ini mata sipitku seperti akan tertutup untuk selamanya. Kenapa
masa dan aturan ini di nilai berdasarkan siapa aku? Dari mana aku? Mengapa?
Gedung yang dihadiri ribuan kepala serasa akan roboh terkena gempa yang dahsyat
ketika manusia berkacamata itu mengucapkan kalimat yang begitu perih, pedis dan
sakit. Ricuhnya penonton membakar jiwaku.
Batinku
tersiksa serasa kata “merdeka” ingin kuucapkan saat ini, merdeka batinku
merdeka Indonesia karena aku cinta Indonesia bukan Amerika sekalipun itu tempat
aku menghembuskan nafas pertama kalinya. Pembagian sertifikat, uang pembianaan
dan sejumlah hadiah lainnya telah diberikan. Berjalannya waktu mengisi hembusan
nadi bergolak menggerakkan dan menguatkan mulut mungilku untuk mengucapkan kata
kepada ribuan manusia yang hidup di tempat itu. Tak ada yang membelaku dari
keputusan juri yang tidak adil dan tidak memberikan solusi agar aku bisa
mewaikili Indonesia. Kedua orang tuaku sedang sibuk dengan urusan pekerjaan
mereka masing-masing diluar kota dan negara yang jauh. Mereka hanya mendukungku
lewat alat komunikasi yang sudah berkembang pesat saat ini. Pembimbingku hanya
terpaku pada kursi pembimbing peserta dengan mimik kesedihan dan tetap
menyemangatiku dari kejauhan, ia tak mampu melontarkan suara merdunya untuk
membelaku karena tidak berani menolak keputusan dewan juri yang telah membulat,
ia paham betul atas alasan yang dikemukakan oleh dewan juri berkacamata dan
juri itu juga merupakan suku Maluku sesuai daerah yang menang juara ketiga, hal
itu membuatku semakin panas. Andaikan Angelic terlahir dari rahim suku lokal
Indonesia pasti hal yang tidak kusangka ini tidak akan terjadi.
Teriak
Vioni sahabat sejatiku dari ujung kursi penonton “ Angelic kamu hebat. Kamu
mampu. Kamu Indonesia. Kamu anak Indonesia. Kamu kebanggaan bangsa”. Tidak
disangka kembali, sang motivator hidupku ternyata menyaksikan pementasanku dan
ia kembali menyemangatiku.
Niat
berkumpul menjadi satu kesatuan layaknya pulau Indonesia menyambung menjadi
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kukobarkan semangatku, batinku tidak akan
remuk begitu saja. Seni adalah hidup maka, aku harus hidup. Seni adalah jiwa
dan ragaku maka, aku akan bertindak. Kuambil bendera merah putih yang berdiri
tegak di samping panggung di tengah kesibukan dan keributan percakapan para
manusia yang sama sekali tidak menjunjung tinggi kesetaraan. Hatiku berbicara
Tuhan jika ini kehendakmu maka akan aku putuskan dan jika ini kehendakmu pula
ijinkan aku berbicara. Ketika itu hatiku terasa bersih, nyaman dan yakin.
Sepatah
demi kata “Aku Indonesia, aku merah putih, aku anak Indonesia bukan anak
Amerika. Seniku terlahir dari darah merah dan putih. Putih suci jiwa ini, merah
berani raga ini patut diperjuangkan. Seniku terbentuk satu persatu bukan untuk
dihargai, bukan untuk disoraki, bukan untuk dikaryakan begitu saja. Cobalah
pahami wahai kaum nasionalis. Kalian seorangpun, sedetikpun, sebisanya tidak
mengakuiku Indonesia. Apakah pikiranmu hanya seputar siapa aku? Dari mana aku?
Pulau melati pujaan bangsa tidak membedakan hal itu. Kalian menyaksikanku
berkompetesi hanya melihatku dari asal suku bukan dari usaha yang telah alirkan
bertahun-tahun mencintai Tanah Air yang mulia ini. Aku untuk negeriku, aku akan
membawa nama Indonesia bukan Amerika di tempat kelahiranku itu. Aku adalah
warga negara Indonesia. Satu kewarganegaraan dalam hati, jiwa, raga dan pikiran
ini. Hanya Indonesia Indonesia tumpah darahku. Sekalipun darah biru tercampur
dalam tubuh mungil ini, sadarlah darah pertiwi juga masuk dalam jantung ini. Ku
putuskan dan tetapkan saya Indonesia, saya akan mewakili Indonesia bersama
delegasi Sulawesi Tengah. Hidup berjuang mati NKRI harga mati! Merdeka!
Merdeka! Merdeka! Merdeka Indonesia! Merdeka Seni dan budaya negeri tercinta
Republik Indonesia!” beban terlepas, dahaga nyaris datang, air mata memenuhi
wajah ini, desakan tangisan tergolak berhenti begitu saja ketika para manusia
hidup itu kembali bersorak setelah terdiam selama beberapa menit, mereka bersorak
gema “ wahai pemudi Indonesia! Hidup! Hidup! Hidup anak Indonesia! Indonesia
bangkit!”.
Kembali
kepada pria berkacamata itu, ia tak menyangka dan kaget seketika. Wanita
berambut panjang juga berkacamata itu yang berdiri di meja dewan juri berkata “Angelic
Charol Geraldine kamu adalah anak Indonesia, kamu satu jiwa kewarganegaraan
yang patut dihargai dan kamu pemudi Indonesia yang patut diteladani. Kamu
adalah duta Indonesia. Sekali lagi kami dewan juri memberi keputusan yang
sebenarnya bahwa Angelic Charol Geraldine, kamu berhak megikuti Pentas Kesenian
Internasional di Amerika membawa nama dan budaya Indonesia. Hakmu telah
terpenuhi dan kewajibanmu akan kamu jalani ketika Pentas nanti, karena kamu
adalah satu kewarganegaraan, warga negara Indonesia”. Sangat bersyukur atas kejadian yang terjadi
saat itu. Gedung kesenian kembali melontarkan kisah kegembiraanku. Akhirnya,
aku bisa membawa nama Indonesia dan menjadi Indonesia seutuhnya.
Hari
berganti hari. Sebulan seusai kejadian itu, aku dipertemukan bersama
orang-orang hebat dari seluruh Dunia berkumpul menjadi satu dalam Pagelaran
Pentas Kesenian Internasional. Kembali dewan juri tingkat Internasional itu
berbicara mengungkapkan rasa bangganya terhadap anak-anak Dunia mengenai rasa
kecintaan budaya daerah masing-masing dan juga pengumuman hasil lomba yaitu
bahwa Negara Indonesia dengan beragam budaya yang di tampilkan dengan konsep
“Satu Untuk Semua” dan kolaborasi dua peserta yang sangat ciri khas dinobatkan
menjadi juara 1 Pentas Seni Tingkat SLTA Internasional. Syukur kunaikan ke
hadirat Tuhan selalu, bukan karena kuat dan hebatku. Tuhan itu adil. Usaha
tidak pernah mengkhianati hasil. Telah ku tuai tanaman yang pernah ku tanam
dengan jerih payah dan pengorbanan.
Kembali
ke Indonesia, kembali membawa kabar sukacita oleh karena kuasa Tuhan. Indonesia
maju, Indonesia mampu, Indonesia cerdas, Indonesia berkarakter, Indonesia
berbudaya. Syukuran bersama keluarga, sahabat, teman sekolah dan semua
pendukungpun diadakan dengan penuh rasa syukur dan bahagia. Hingga akhirnya aku
menjadi duta budaya Indonesia selama 5 tahun.
Tamat
Leave a Comment