[Cerpen] Kembali Untuk Negeri
Dyah Arum Kinanti
:
“Bagai
pungguk merindukan bulan”.
Ungkapan yang tepat dilontarkan untukku. Oh.. lebih
tepatnya antara aku dan mimpi-mimpiku. Impian memang tak menjamin apapun untuk
masa depan. Tapi, tanpanya kita akan menjalani hidup dengan membosankan. Itulah
kiranya yang tertanam dalam diriku, aku punya banyak impian mulai dari menjadi
anggota paskibra, penulis, polwan, dan pergi ke luar negeri. Semua impian yang
kumiliki bukan hanya kubiarkan begitu saja, tapi kuwujudkan perlahan-lahan
dengan usaha dan juga doa. Karena tidak ada yang tidak mungkin, jika kita mau
berusaha. Namun, seringkali aku bersama mimpi-mimpiku diremehkan, dicela dan selalu
diragukan. Entah mengapa, entah apa salahku, ini semua membuatku sempat
bertanya-tanya apakah aku dilahirkan di dunia hanya untuk dikucilkan? Atau
adakah rencana yang indah untukku nanti?
Aku Adinnastasya Aditya Putri, sapaan hangatnya Adin.
Terlahir dari keluarga yang sederhana, anak bungsu dari dua bersaudara. Ayahku
bekerja sebagai petani dan ibu ikut membantu perekonomian keluarga kami dengan
membuat kerupuk yang dititipkannya di pasar. Sementara kak Rio menjadi karyawan
sebuah Bank. Merekalah orang-orang yang menyayangiku dengan tulus, dari dulu
hingga kini aku berusia tujuh belas tahun. Rambut hitam lurus sebahu, dengan
lesum pipit di pipi sebelah kiri dan kulit sawo matang. Nampak sempurna bukan?
Tapi itu semua tak sesempurna dan tak seindah perjalanan hidupku.
Delapan tahun yang lalu, tepatnya saat aku duduk dibangku
kelas empat SD. Di sinilah hinaan demi hinaan itu dimulai. Biasa di umur
seperti ini adalah masa dimana menghabiskan waktu di sekolah dengan riang, dan
bermain bersama teman-teman. Tapi kurasa itu tak berlaku untukku. Mereka sering
mengejek dan memperlakukan secara tidak baik. Mengejek hal apa saja yang ada
dalam diriku baik itu kemampuan maupun fisik. Ya.. sekilas aku terlihat
sempurna, anggota tubuhku semua lengkap. Aku punya mata, kaki, dan tang … ah,
kecuali untuk yang satu ini tanganku ada tapi tak selengkap yang kalian miliki.
Kedua tanganku kehilangan anggotanya yaitu jari-jari tangan, ini adalah bawaan dari
lahir. Hampir setiap hari, aku pulang dengan mata sembab karena ulah mereka
yang terus-terusan mengejekku.
Suatu
hari, saat jam istirahat Saly dan empat orang lainnya datang mengahmpiri
mejaku.
“eh
… buntung kamu ngak pantas ya sekolah disini! harusnya kamu masuk SLB tu sama
anak-anak cacat yang lain” ucap saly dengan nada ketus.
“iya
dasar cacat, malu-maluin sekolah kita aja” timpal yang lain.
Aku
hanya bisa terdiam dan mulai menangis seperti anak-anak pada umumnya dan tak
melawan, hanya bisa berteriak marah pada mereka dan itu semua tak ada gunanya.
Ejekkan mereka makin menjadi-jadi dan terus berlangsung hingga masuk ke jenjang
SMP. Walaupun dengan teman yang berbeda, hal yang sama pun tetap terjadi.
Saat pertama kali datang dan mendaftar, mereka semua
memandangku dengan tatapannya yang aneh apalagi kalau bukan karena keadaanku.
Masa bodoh dengan pandangan mereka, saat resmi diterima aku mulai mencoba aktif
dalam pelajaran dan mengikuti beberapa perlombaan seperti cerdas cermat. Waktu
itu aku dan dua temanku terpilih mewakili sekolah untuk mengikuti lomba cerdas
cermat namun kami hanya berhasil masuk ke final dan pulang tanpa kemenangan.
Guru yang membimbing kami, membesarkan hati kami dengan mengatakan “ini bukan
kegagalan nak, kalian sudah berhasil walaupun hanya sampai final jadikan ini
sebagai pengalaman”ucap bu Dewi.
Namun,
teman-teman yang lain justru malah mengatakan yang sebaliknya terutama
kepadaku.
“gara-gara
kamu ikut lomba itu, sekolah kita jadi kalah!”ucap mita dengan sangat ketus.
“setidaknya
kan kita sudah berusaha, dari pada tidak sama sekali” jawabku.
“alahh
banyak bacot, dasar tangan buntung!” sentak mita.
Sontak
aku sangat terpukul dengan perkataannya dan hanya diam membisu.
Satu tahun berlalu akupun masuk ke jenjang SMA. Di
sekolah yang baru ini, aku harap semua akan jadi lebih baik. Aku pun mulai
merajut benang-benang impian yang selama ini didamba-damba, yaitu paskibra.
Sejak awal, aku mulai mengikuti ekskul namun saat tes aku gagal. Salah satu
alasan kegagalan ini adalah karena tidak adanya jari tangan. Namun semangatku
tak padam, ditahun kedua aku mengikuti tes lagi dan mereka yang menyeleksi ku
kaget melihat aku kembali dengan keadaan fisik yang sama namun lebih semangat.
Karena kegigihan ku, aku terpilih. Kepala sekolah menunjukkan kebijaksaanaannya
yaitu tidak membeda-bedakan keadaan fisik tapi, dengan melihat kerja keras
serta usaha. Alhamdulillah satu mimpiku terwujud.
Tahun ketiga, tepatnya saat ini diusiaku yang ke tujuh
belas tahun aku mulai menemukan apa yang kusukai dan juga menjadi apa yang aku
impikan. Penulis, sebenarnya sejak awal masuk SMA aku mulai
tertarik dibidang sastra. Banyak karya yang kutulis dengan tanganku sendiri,
berhubung tak punya laptop. Bagaimana bisa? Jari tak ada? Bisa menulis?
Di setiap kekurangan selalu ada
kelebihan yang diberikan sang Maha Kuasa. Sejak dulu, aku terlatih menulis
tanpa jari dan tanpa kesulitan. Cerpen, puisi dan novel yang kutulis tersimpan
rapi dirumah. Tak pernah ku perlihatkan pada siapapun. Jika aku memperlihatkan
pun, mereka tak akan percaya bahwa itu kutulis dengan tangan dan imajinasiku
sendiri. Bukan perkiraan, tapi ini sudah terbukti. Bulan lalu, aku mengikuti
lomba literasi yaitu penulisan cerpen yang diadakan oleh sekolah. Mereka semua
tak percaya dengan apa yang aku lakukan. Bahkan mereka meremehkan dan
meragukanku.
“udahlah,
ngak usah ikutan tu lomba paling-paling kalah” Ucap Tia diikuti tatapan
meremehkan dari Bobi.
Mereka
berdua adalah teman sekelasku, yang sejak awal masuk sekolah sering meremehkan semua
hal yang aku ikuti. Perkataannya terdengar sederhana di telinga, tapi itu
sangat luar biasa mengguncang jiwa seseorang yang tengah berjuang meraih apa
yang dia impikan. Namun, aku tetap mengikuti lomba itu dan mendapatkan juara 2.
Setelahnya tak berjalan mulus dan indah, bahkan saat ini sebagian dari mereka
masih mengolok-olokku karena jari yang tak ada serta meragukan impianku.
Tak
terasa 3 tahun berlalu begitu cepat, aku lulus dengan nilai yang cukup
memuaskan. Saat penerimaan hasil di aula sekolah, Tia menghampiriku.
“universitas
mana ya yang mau nerima mahasiswi dengan tangan yang kayak gitu?” ucap Tia,
sambil melirik kearah tanganku.
Lagi-lagi
aku hanya terdiam mendengar perkataannya sambil tersenyum. Lagi pula, perbuatan
buruk tak harus dibalas dengan perbuatan yang buruk kan?. Biarlah waktu yang
menjawab pertanyaannya.
Aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar negeri
yaitu di Eropa dengan jalur beasiswa tanpa sepengetahuan teman-teman kecuali
kepala sekolah, guru pembimbing, ayah, ibu, dan kak Rio. Beasiswa
ini aku dapatkan dari perlombaan karya tulis ilmiah tingkat Nasional yang
diadakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dengan hadiah berupa beasiswa
penuh di universitas samhado di Eropa. Karyaku menjadi yang terbaik. Tak ada
yang tahu, karena pemenang lomba tersebut tidak dipublikasikan melalui media
sosial tapi langsung diberitahukan kepada pihak sekolah. Dan aku meminta kepala
sekolah, untuk merahasiakan ini.
Disini aku merasakan hal yang berbeda dari yang ku alami
dulu. Tak ada satupun dari mereka yang mengejek keadaan fisikku ataupun
meragukan hal yang ingin aku wujudkan. Kini aku dikelilingi oleh dukungan dan
motivasi, aku merasa nyaman berada disini. Di negeri orang.
Rupanya aku tak sendiri, ada yang sama sepertiku.
Memiliki kekurangan fisik, namanya Razka dan Killa. Razka yang hanya memiliki
sebelah kaki karena kecelakaan yang dialaminya sewaktu berumur lima tahun, dan
killa yang kehilangan sebelah penglihatannya sejak lahir. Mereka berdua
sama-sama pernah mengalami apa yang aku alami, yang saat ini disebut sebagai
pembulian. Trauma, membuat mereka memilih untuk kuliah di luar negeri. Kami
berada di jurusan yang sama, yaitu psikologi. Entah apa alasannya, aku tertarik
mengambil jurusan ini. Tak terasa sudah lima tahun menempuh pendidikan, aku pun
diwisuda dengan nilai Cum Laude dan
mendapatkan predikat sebagai mahasiswi berprestasi. Ini membuat
instansi-instansi di Eropa melirikku dan ingin aku menjadi bagian di dalamnya.
Semua sudah terjamin, kehidupan yang layak dan gaji yang besar serta tidak lupa
ketentraman. Siapapun tak bisa menolak tawaran itu. Razka memilih untuk tetap
tinggal disana, bergabung pada sebuah instansi bidang psikologi. Dia tak ingin
kembali ke Indonesia, karena trauma akan pembulian yang pernah dialami.
Begitupun dengan Killa, dia memilih untuk melanjutkan S2nya dan menatap di sana.
Sedangkan aku?
Aku masih bimbang, dengan pilihan itu. Aku ingin berada
di sini dengan segala jaminan dan juga ketentraman hidup. Namun, disisi lain
aku ingin kembali berkumpul bersama keluarga dengan kemungkinan aku akan
mengalami hal yang sama lagi, dibuli oleh orang-orang yang tak menerima
keadaanku. Akhirnya aku memutuskan, untuk kembali ke Indonesia dan menolak
semua tawaran pekerjaan yang menjanjikan itu secara baik-baik.
Salah
satu impian yang juga menjadi cia-cita ku adalah polwan, namun karena fisik
yang tak mendukung aku mengubur harapan itu dalam-dalam. Dan mensyukuri apa
yang telah aku dapatkan dari semua yang ku alami. Psikolog adalah pekerjaan ku
saat ini, aku membimbing anak-anak yang mengalami pembulian. Dan sering ditunjuk
sebagai penjelas dalam sebuah kasus kekerasan yang dialami oleh masyarakat.
Aku berhasil membuktikan pada mereka yang seringkali
menghujat, meragukan, dan mempermasalahkan jari yang hilang dari tanganku dan
berhasil mengubah cara pandang kepada penyandang difabel. Walaupun apa yang
kualami sangat membekas dibenak, tapi aku menjadikannya sebuah pelajaran yang
membuatku tumbuh menjadi lebih kuat. Dan kini aku ingin menguatkan mereka yang
seringkali dibuli, terutama mereka yang menyandang difabel. Karena setiap orang
memiliki kesempatan yang sama untuk mewujudkan apa yang diimpikan, perlu
dukungan bukan keraguan, bukan juga ejekkan. Untuk itu, aku ingin menumpaskan
pembulian yang seringkali terjadi di Indonesia, agar tidak ada lagi yang
bernasib sama sepertiku.
SELESAI
Leave a Comment